Juni 18, 2020

ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH (Penamaan, Sejarah, dan Doktrinnya)

author photo 05.27

BAB I
PENDAHULUAN

Seiring dengan berkembang pesatnya aliran teologi Islam pada abad ke-3 H, Khawarij, Syiah, Jabariyah, Qadariyah, dan juga Muktazilah yang pada saat itu sangat berpengaruh dunia Islam, bahkan puncaknya sampai beranjak kepada system pemerintahan Islam, saat itulah lahir kedua aliran besar yang membantah pemahaman-pemahaman Muktazilah dan semisalnya seputar teologi Islam, kedua aliran tersebut adalah Asy’ariayah dan Maturidiyah yang mendominan dalam dunia Islam hingga kini.

Asy’ari merupakan salah seorang mutakalimin (ahli teolog) terbesar yang pernah dimiliki oleh umat Islam, ketokohannya hingga ini diakui oleh semua pihak sehingga ahlussunnah diidentikan dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran tersebut sangat kontras dengan aliran muktazilah dalam doktri-doktrinnya, seperti perbuatan hamba, perbuatan Allah, pelaku dosa besar dan lain-lain yang menjadi ranah beragumentasi antara aliran teologi Islam.

Kedua aliran besar ini yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah sama-sama memiliki misi dan tujuan yang kompak yaitu membantah doktrin-doktrin muktazilah, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh teolog Islam Abul Hasan an-Nadawi: “dunia Islam telah mengakui keilmuan dan jasa-jasa mereka hingga berpindahnya teologi Islam dari Muktazilah kepada Ahlussunnah”[1]  Namun apakah berarti doktrin-doktrin yang diajarkan oleh kedua aliran besar tersebut terdapat kesamaan, ataukah keduanya memiliki doktrin yang berbeda?  Sehingga itulah yang menjadi ranah diskursus para ulama saat itu, dan setelahnya.

Makalah ini berupaya menjelaskan sekilas tentang sejarah lahir kedua aliran teologi Islam, yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah, disertai dengan penjelasan doktrin-doktrin aliran tersebut sehingga pembaca dapat menyimpulkan secara global persamaan dan perbedaan doktrin dari kedua aliran tersebut.  
.   




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Penamaan dan sejarah lahirnya As’ariyah
‘Asy’ariyah merupakan aliran teologi Islam yang lahir sebagai reaksi terhadap firqah-firqah sesat qadariyah, jabariyah, khawarij, dan muktazilah, penamaan ‘Asy’ariyah dinisbatkan kepada seorang imam Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu Abul Hasan al-Asy’ari[2]. Abul Hasan Asy’ari berawal bermadzhab muktazilah, Imam Ibnu ‘Asakir menyebutkan bahwa imam Abul Hasan as-Asy’ari berguru kepada bapak tirinya yaitu Abu Ali Jubba’i[3], Abul Hasan al-Asy’ari seorang ulama senior muktazilah mendalami paham muktazilah selama 40 tahun lamanya, sampai-sampai jika Abu Ali Jubai berhalangan untuk mengisi kajian di masjid al-Mansur, maka Abul Hasan ‘Asyari yang menggantikannya[4].

Kisah yang fenomenal tentang berlepas dirinya Abul Hasan al-‘Asyari dari aliran Muktazilah sebagaimana diceritakan bahwa Abul Hasan pada hari Jumat di masjid Jami di Basrah berdiri di atas mimbar kemudian mendeklarasikan berlepas dirinya dari Muktazilah seraya berkata “barang siapa yang mengenali-ku maka dia telah mengenali-ku, dan barang siapa yang belum mengenali-ku maka aku akan memperkenalkan diri, aku fulan bin fulan, dahulu aku bependapat bahwa al-Qur’an adalah makhluq, Allah tidak dapat dilihat dengan penglihatan dan perbuatan manusia, manusialah yang menciptakannya, maka sesungguhnya saya telah taubat dari pemahaman muktazilah karena kesesatan ajarannya[5]

Berjidal dengan Abu Ali Jubai membuat Abul Hasan menemukan kebenaran yang kontra dengan pemahaman muktazilah, diantara kisah perdebatannya tentang permasalahan ria’yatul ashlah[6] tatkala Abul Hasan al-‘Asy’ari bertanya kepada Abu Ali al-Jubai tentang tiga saudara, yaitu orang mukmin bertaqwa, orang kafir, dan anak balita, Ali Jubai menjawab “orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat." Al-Asy'ari "mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?" Al-Jubba'i, "Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, "Orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu." Al-Asy'ari, "Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu." Al-Jubba'i, "Oh, tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif." Al-Asy'ari, "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku disiksa seperti sekarang ini?"  Mendengar pertanyaan al-Asy'ari ini, al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban. Al-Jubba'i hanya berkata: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada."[7]

Pada hakikatnya Abul Hasan al-Asy’ari tidak menciptakan suatu pendapat, madzhab yang baru melainkan pemikirannya serupa dengan apa yang diajarkan salaf, dan sahabat Rasul Saw maka penisbatan kepada Abul Hasan Asy’ari merupakan bentuk pembelaan secara jidal  yang beliau lakukan, maka orang yang mengikutinya dinamakan Asy’ariyan.[8] Asy’ariyah mulai mengalami perkembangan ketika perdana menteri Tugril yang menganut pandangan Muktazilah wafat (1063), dan digantikan oleh Alp Arselan (1063-1092) yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri. Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedang aliran Muktazilah mulai mundur, hingga saat ini Asy’ariyah tersebar diberbagai penjuru dunia.[9]

B.   Penamaan dan sejarah lahirnya al-Maturidiyyah
Al-Maturidiyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada imam Abu Manshur al-Maturidi[10], Abu manshur al-Maturidi hidup sezaman abul Hasan Asy’ari keduanya memiliki tujan yang sama, hidup berperang pemikiran melawan aliran muktazilah yang pada saat itu berpusat di Bashrah[11],  Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran teologi Islam dalam aqidah, lahirnya aliran tersebut pada abad ke-4 H,  yang mengklaim bagian dari ahlussunnah wal jama’ah dengan tujuan membantah pemikiran aliran muktazilah dengan doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Maturidiyyah tersebar di negar-negara yang berkembang perdebatan Fikh, Ushul Fiqh dan Aqidah yaitu negri Ma  Wara  al-Nahr yang dikenal saat ini terletak di Turkistan, Uni Soviet, Cina, Iran, India dan Afghanistan.[12]

Para fuqaha mengatakan bahwa ajaran aqidah yang disebarkan oleh imam Mathuridiyah serupa dengan apa yang diajarkan oleh imam Abu Hanifah, bahkan imam al-Maturidi menyebutkan bahwa dirinya memiliki riwayat kita-kitab karya imam Abu Hanifah diantaranya ialah al-Fiqh al-abshat dan al-‘alim wal muta’allim.[13]

Aliran ini terbagi dua golongan yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Abu Mansyur al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh al-Bazdawi[14]. Kedua golongan Maturidiyah tersebut, tentang keberadaan dan pokok ajarannya akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.  

C.  Aliran-aliran Ay-ariyah
Sebatas penelusuran penulis terhadap literatur tentang aliran Asy’ariyah tidak ditemukan aliran-aliran dalam Asy’ariyah kendati demikian ada beberapa tokoh Asy’ari yang berbeda pendapat dengan Abul Hasan Asy’ari di dalam beberapa permasalahan diantaranya masalah penetapan nama-nama Allah, ada tiga pendapat dalam aliran Asy’ariyah, pendapat pertama at-Tauuqif[15], pendapat kedua tidak disyaratkan tauqif dari al-Qur’an dan as-Sunnah, ini pendapat imam al-Baqillani dan pendapat ketiga yaitu pendapatnya al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi, mereka berpendapat boleh menetapkan sifat Allah walaupun tidak ada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, adapun menetapkan nama-nama Allah maka harus ada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah[16].

Bahkan imam al-Juwaini mengemumakan pendapatnya yang sangat kontras dengan Asy’ariyah, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dengan pendapatnya Muktazilah dari pada Asy’ariyah yaitu dalam permasalahan al-kasb[17] sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Nasution.[18]

D.  Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’arih
1.      Dalil rasional adanya Tuhan
Dalam masalah ini Abul Hasan mengisyaratkan bahwa manusia itu sesuatu yang hadits dan membutuhkan kepada al-qadim, berdalil dengan penciptaan manusia secara berfase-fase, mustahil bila di sana tidak ada yang mengaturnya, sebagaimana juga kapas yang berubah menjadi baju, maka pastilah ada seorang yang menenunnya.[19]
2.      Sifat-sifat Allah
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Yaitu dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya, kelompok ke-dua yaitu kelompok Muktazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya.[20]
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak menyerupai sesuatupun, karena jika Allah menyerupai sesuatu yang hâdits, maka akan berlaku untuknya hukum-hukum hâdits, sedangkan Allah Maha Esa, jika tuhan lebih dari satu maka alam ini tidak akan menjadi teratur. Allah berfirman :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ 
Artinya : “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai`Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS: al-Anbiya: 22).[21]

3.      Kebebasan dalam berkehendak
Dalam teologi Islam ada dua pandangan mengenai permasalahan ini,  dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah (fatalisme) dan penganut faham pradterminisme Qadariyyah dan Muktazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan muktasib. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), dan tentu dengan kuasa Allah[22].
4.      Keadilan Tuhan
Masalah keadilan juga mendapat perhatian umat Islam, persoalan ini mencuat kepermukaan karena kaum muktazilah, Abdul Jabbar berkata jika Tuhan berlaku adil berarti perbuatannya bersifat baik. Ia tidak berbuat jahat, dan tidak melupakan kewajibannya, berbeda dengan Asy’ari yang berpendapat keadilan tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimilikinya dan menggunakannya sesuai kehendaknya, tidak ada yang mewajibkannya dalam melakukan sesuatu[23], bahkan Allah boleh saja menghukum hambanya tanpa adanya dosa sebagaimana yang dinyatakan oleh imam al-Ghazali.[24]
5.       Akal, wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, namun mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. al-Asy’ari mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak dapat diketahui melainkan dengan wahyu, berbeda dengan muktazilah mereka mengatakan bahwa perbuatan baik maupun buruk dapat diketahui oleh akal.[25]
6.      Qadimnya al-Qur’an
Muktazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah.[26]
7.      Melihat Allah di hari  Kiamat
Diantara polemik dikalangan aliran teologi Islam yang menjadi ranah pedebatan yaitu permasalahan melihat Allah pada hari kiamat , Asy’ari berpendapat serupa dengan Hanabilah dan Ahli Hadits bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, berbeda dengan Khawarij, Syiah, sebagian Murjiah. Asy’ari berdali dengan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Qiyamah 22-23.[27]
8.      Keadilan
Faham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan manusia dan juga erat kaitannya dengan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah, Asy’ari karena berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaam mutlak tuhan,  Dengan kata lain tuhan dapat berbuat apa saja yang Dia kehendaki, menurut Asy’ari perbuatan Allah itu adalah adil.[28]
9.      Kedudukan orang yang melakukan dosa besar
Menurut al-Asy’ari adalah mukmin yang fasik bukan orang kafir, nasibnya terletak ditangan Allah. Ada kemungkinan Allah akan mengapuni dosa-dosanya dan ada kemungkinan Allah akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosanya, lalu dimasukan ke dalam surga[29] 
E.   Aliran-aliran al-Maturidiyyah
Berdasarkan beberapa referensi yang pemakalah peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
  1. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi lebih dekat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.[30]
2.      Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi tulen dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Dia belajar kepada ayahnya kemudian ayahnya belajar kepada kakeknya Abdul Karim, kakek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi memiliki sedikit perbedaan dengan al-Maturidiy, diantaranya imam mereka berpendapat bahwa perbuatan memerlukan dua daya yaitu daya Tuhan dan daya manusia, sedangkan daya manusia hanya kiyasan saja.[31]
F.   Doktrin al-Matudiyah
Abu  Zuhrah membenarkan pernyataan al-Kautsariy yang mengatakan bahwa pemikiran  al-Maturidi  berada pada posisi antara Asy’aryiah dan Muktazilah sedangkan Asy’ariyah berada pada posisi antara Muktazilah dan Ahli Hadits.[32]  Diantara doktrin al-Maturidiyah adalah :
1.      Mengetahui esensi Allah
Mengetahui esensi Allah dapat diketahui dengan penalaran akal dengan taddabur dengan penciptaan Allah.[33]
2.      Perbuatan Allah
Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan Allah dilandasi dengan hikmah, tidak ada yang memaksa kehendaknya karena dia sepenuhnya bebas memilih, Maha menghendakinya dan Maha Mengerjakan apapun yang dia kehendakinya, berdasarkan itu maka tidak pantas jika Allah dikatakan wajib melakukan yang baik dan yang terbaik, karena kewajiban itu menafyikan sebuah kehendak.[34]
3.       Sifat-sifat Allah
Berhubung  dengan  sifat  Allah,   al-Maturidi  menetapkan  sifat-sifat Allah, tetapi mereka mengatakan sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang keluar dari zat Allah dan tidak pula terpisah dari zatnya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat Allah akan membawa kepada banyaknya yang qadim.[35]
4.      Ru’yah (melihat) Allah
Berhubung  dengan  melihat  Allah,  al-Maturidi   mengatakan Allah dapat dilihat pada Hari Qiyamat.[36]
5.       Af‘al  al-‘Ibad
Berhubung  dengan  perbuatan  manusia, Maturidiyah berpendapat bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Tidak ada satu pun wujud melainkan Allah yang ciptakan. Tidak ada sekutu baginya, namun demikian manusia memiliki pilihan dengan al-kasb.[37]
6.      Murtakib  al-Kabirah 
Berhubung  dengan  pelaku  dosa  besar,  al-Maturidi  tidak memasukkan  ‘amal  (perbuatan)  sebagai  komponen dari pada  Iman.  Oleh  Karena itu,  pelaku  dosa besar tidak keluar daripada lingkungan  Iman. Pelaku dosa besar menurut al-Maturidi tidak kekal dalam neraka, walaupun mati tanpa bertaubat.[38]
7.      Al-Qur’an Kalamullah
Al-Maturidi  mengatakan Kalam Allah terdiri daripada makna yang berdiri dengan dhat-Nya. Ia merupakan sifat yang berhubung dengan dhat-Nya, qadim sama seperti dhat-Nya, tidak tersusun daripada huruf dan perkataan kerana huruf dan perkataan itu hadits dan setiap yang hadits itu makhluq.[39]
G.  Persamaan dan perbedaan doktrin antara Asy’ariyah dengan Maturidiyyah
Menurut imam Muhammad Abduh khilaf antara Asy’ariyah dengan Maturidiyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan, beliau juga menegaskan bahwa khilaf diantara mereka merupakan khilaf lafdzi (redaksional).[40] Diantaranya:
1.      Tentang Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.[41]
2.      Tentang PerbuatanManusia
Pandangan Asy`ariyah serupa dengan Maturidiyah bahwa perbuatan diciptakan oleh Tuhan, serta direalisasikan dengan al-kasb, Dalam masalahal-kasb, Maturidiyah berpendapat bahwa yang berpengaruh pada hakikat perbuatan adalah kuasa Allah, adapun yang mempengaruhi sifat perbuatan adalah daya manusia dan inilah yang dinamakan al-kasb. Adapun Asy’airah mereka berpendapat bahwa al-kasb yaitu daya upaya manusia yang terjadi dengan kuasa Allah.[42]
3.      Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Muktazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.[43]
4.      Tentang perbuatan Tuhan
Pandangan Asy`ariyah bahwa perbuatan Allah tidak didasari oleh suatu alasan, karena Allah mempunya kebebasan dalam bertindak, sedangkan Maturidiyyah berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu yang sia-sia melainkan perbuatannya di dasari dengan suatu kehikmatan, seolah-olah pendapat mereka serupa dengan muktazilah, namun jika kita telisik lebih jauh maka kita akan mengatakan bahwa pendapat Maturidi berada pada posisi pertengahan antara Muktazilah dan Asy-ariyah.[44]
5.      Tentang Pelaku Dosa Besa
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.[45]



BAB III
PENUTUPAN
Setelah mengurai pembahasan di atas, kita dapat simpulkan bahwa Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan aliran yang lahir ketika tersebar luasnya aliran Muktazilah, juga kedua aliran tersebutlah yang menjadi lawan beragumentasi para mutakallimin dari kalangan Muktazilah. Asy’ariayah yang lahir di Bashrah dengan pelopornya yaitu Abul Hasan Asy’ari menjadikan para mubtadi’ tuduk tak berkutik, kemudian lahir pula aliran dengan misi yang sama di Samarkan, yaitu Maturidiyah pengikut Abu Manshur al-Maturidiyah.





Kedua aliran tersebut mempunyai tujuan yang serupa namun berbeda tipis dalam doktrin-doktrinya yang menjadikan tugas ulama setelahnya untuk membahas perbedaan dan persamaan antara doktrin kedua aliran tersebut, sebagian ulama ada yang mengatakan perbedaan tersebut hanyalah bersifat lafdzi (redaksional) dan ada yang mengatakan juga perbedaannya lafzdi (redaksional) dan maknawi (substansional) kendati demikian tidak menjadikan kedua aliran tersebut mentabdi’, apalagi sampai mengkafirkan satu dengan yang lainnya.
Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan konsep kasbnya telah menjadikan keduanya tampil berbeda antara kaum fatalism dengan qadariyah dan muktazilah, begitu pula dengan konsep istbath terhadap sifat-sifat Allah menjadikan keduanya tampil lebih moderat. Yang terpenting dari itu aliran tersebut telah berkontribusi untuk khazanah pemikiran Islam dan menjadikan kita berpikir lebih dinamis dan moderat dalam menanggapi aliran aqidah Islam.
Penulis menutup makalah ini dengan mengutip perkataan al-Qadhi Abdurrahim; “Saya melihat jika hari ini seorang menuliskan buku, pastilah pada keesaokan harinya dia akan berkata ‘jika ditambah ini, maka akan lebih baik, jika dikurangi ini maka akan terlihat indah…”.







[1] Hamad as-Sinan, Ahlussunnah al—Asyâ’irah, Dar Dhiya, cet. I, 2005, hal. 99
[2] Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-‘Asyari,  adalah seorang ulama produktif dengan banyak kontribusinya dibidang ilmu kalam membela madzhab Ahlissunnah, nasab beliau sampai kepada sahabat nabi yaitu Abu Musa al-‘Asyari, dilahirkan di bashrah tahun 260 H, beliau berguru setiap hari Jumat kepada pakar fikh dari kalangan Syafi’iyyah  yaitu Abu Ishaq al-Marwazi di masjid al-Manshur, beliau meninggal pada tahun 330 H. (lihat: Târikh Baghdâd, wa Dzhuyâlihi, al-Khatib al-Baghdadi, Dar Kutub ‘ilmiyyah, Bairut, 1417 H, jilid 11, hal. 346)   
[3] Abu Ali Jubai bin Abdul Wahhab adalah salah satu tokoh Muktazilah, dan tokoh ilmu kalam, lahir tahun 235-303 H-, murid dari Ya’qub al-Bashari (Lihat: Wafayâtul ‘Ayân, karya Ibnu Khalikan, Dar Shadir, Bairut, 1972, jilid 4,  hal 267)
[4] Ibnu ‘Asakir, Tabyînul Kadzibil Muftarâ, Maktabah Azhariyah Litturats, Kairo,  jilid 1, hal 91
[5] Ibnu Khalikan, Wafayâtul ‘Ayân, Dar Shadir, Bairut, 1972, jilid 3, hal. 284
[6] Yang dimaksud dengan Ri’ayatul Ashlah adalah apakah wajib bagi Allah untuk melihat mashlahat hambanya.
[7] Imam Dzahabi, Siyar ‘Alâm Nubalâ, Dar Hadits, Kairo,  jilid 11, hal 13.
[8] Ibnu as-Subki, Thabaqât as-syafi’iyyah,  Dar Kutub Ilmiyyah, Bairut,  jilid III,  hal. 365
[9] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia. Press, hal. 75
[10] Nama lengkap Imam Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Anshari al-Maturidi al-Hanafi,  as-Samarqandi.  Beliau  lahir  di  Maturit  atau sebuah  kawasan  yang  berdekatan  dengan  Samarqand,  salah  sebuah  kota  yang terkenal di Asia Tengah. Selain  itu,  beliau  juga  dihubungkan  kepada  al-Ansar  (al-Ansari)  kerana  dikatakan beliau  berketurunan  daripada  sahabat  nabi,  Abu  Ayyub  Khalid  bin  Zayd  bin  Kulayb  alAnsari.
[11]Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 167
[12] Ahmad bin ‘Awab, Al-Maturidiyah, Dar ‘al-Shimah, Saudi, 1413 H, hal. 85
[13] Abu Zahrah, Târikh Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 165
[14] Bazdawi merupakan tokohaliran Maturidi yang memiliki banyak murid, diantaranya yaitu Muhammad Nasafi, beliau   wafat pada 493 H di Bukhara. (lihat: Masû’ah al-Muyassarah fi al-Madzâhib. hal. 97)
[15] Tauqif di sini artinya tidak mensifati Allah kecuali dengan apa yang disifati oleh al-Quran dan Sunnah
[16] Muhammad al-Husaini,  Ifahâfussadat al-Muttaqîn, Maktabah Iskandariyah, cet. I,  jilid. 2, hal. 20
[17] Al-Kasb versi Asy’ariyah adalah suatu daya upaya dalam mengerjakan perbuatan, jika suatu perbuatan terjadi dengan kuasa yang qadim maka itu menunjukan bahwa Allah sebagai penciptanya yang hakiki, dan jika suatu perbuatan terjadi dengan kuasa yang hadits maka manusia tersebut dikatakan al-Muktasib (lihat: Maqalatul Islamiyyin karya Abul Hasan, hal 304)
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press, 1986, Cet. V. h. 72
[19] Dr. Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal. 147.
[20] Prof. Dr. H Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pusat Setia, Bandung, 2012, hal. 148.
[21] Dr. Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal. 60.
[22] Dr. Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal. 58.
[23] Kadir Shabur, Teologi progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal 76.
[24] Imam al-Ghazali, Al-iqtishod fi al-I’tiqad, Dar Qutaibah, Damaskus, , 2003, cet. I, hal. 102
[25] Abun Nur Zuhair, Ushûl fiqh, al-Azhhariyah litturats, Kairo, hal. 126.
[26] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press,  1986, Cet. V. hlm 70.
[27] Dr. Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal 66.
[28] Kadir Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal. 156.
[29] Kadir Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal, 173.
[30] Abu Manshur Maturidi, Syarh Fikh Akbar, Dar Ma’arif,  Nidzomiyyah, 1321,  hal. 11
[31] Abul Yusr al-Bazdawi, Ushûluddin,  Maktabah Azhariyyah Litturats, Kairo, 2003, hal. 106
[32] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 169.
[33] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 169
[34] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo hal 170,
[35] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 174.
[36] Muhammad Abu Manshur, At-tauhid lil Maturidi, Dar Jamiah al-Misriyyah, Iskandariyah, 2010,  hal 79,
[37] Kadir Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal. 90.
[38] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 176.
[39] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press,  1986, Cet. V. Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 77.
[40] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 167.
[41] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 173.
[42] Ahmad ‘Awadh, al-Mâturidiyyah Dirâsatan wa Tahqîqan, Darul ‘Ashimah, Saudi, 1413, hal. 501.
[43] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 174.
[44] Abu Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 170.
[45] Abul Yusr al-Bazdawi, Ushûluddin,  Maktabah Azhariyyah Litturats, Kairo, 2003, hal. 135.



This post have 0 comments


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post