BAB I
PENDAHULUAN
Seiring
dengan berkembang pesatnya aliran teologi Islam pada abad ke-3 H, Khawarij,
Syiah, Jabariyah, Qadariyah, dan juga Muktazilah yang pada saat itu sangat
berpengaruh dunia Islam, bahkan puncaknya sampai beranjak kepada system
pemerintahan Islam, saat itulah lahir kedua aliran besar yang membantah
pemahaman-pemahaman Muktazilah dan semisalnya seputar teologi Islam, kedua
aliran tersebut adalah Asy’ariayah dan Maturidiyah yang mendominan dalam dunia
Islam hingga kini.
Asy’ari
merupakan salah seorang mutakalimin (ahli teolog) terbesar yang pernah
dimiliki oleh umat Islam, ketokohannya hingga ini diakui oleh semua pihak
sehingga ahlussunnah diidentikan dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua
aliran tersebut sangat kontras dengan aliran muktazilah dalam doktri-doktrinnya,
seperti perbuatan hamba, perbuatan Allah, pelaku dosa besar dan lain-lain yang
menjadi ranah beragumentasi antara aliran teologi Islam.
Kedua
aliran besar ini yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah sama-sama memiliki misi dan
tujuan yang kompak yaitu membantah doktrin-doktrin muktazilah, sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang tokoh teolog Islam Abul Hasan an-Nadawi: “dunia Islam
telah mengakui keilmuan dan jasa-jasa mereka hingga berpindahnya teologi Islam
dari Muktazilah kepada Ahlussunnah”[1] Namun apakah berarti doktrin-doktrin yang
diajarkan oleh kedua aliran besar tersebut terdapat kesamaan, ataukah keduanya
memiliki doktrin yang berbeda? Sehingga
itulah yang menjadi ranah diskursus para ulama saat itu, dan setelahnya.
Makalah
ini berupaya menjelaskan sekilas tentang sejarah lahir kedua aliran teologi
Islam, yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah, disertai dengan penjelasan
doktrin-doktrin aliran tersebut sehingga pembaca dapat menyimpulkan secara
global persamaan dan perbedaan doktrin dari kedua aliran tersebut.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penamaan dan sejarah lahirnya As’ariyah
‘Asy’ariyah merupakan aliran teologi Islam yang lahir sebagai
reaksi terhadap firqah-firqah sesat qadariyah, jabariyah, khawarij, dan
muktazilah, penamaan ‘Asy’ariyah dinisbatkan kepada seorang imam Ahlussunnah wal
Jama’ah yaitu Abul Hasan al-Asy’ari[2]. Abul
Hasan Asy’ari berawal bermadzhab muktazilah, Imam Ibnu ‘Asakir menyebutkan
bahwa imam Abul Hasan as-Asy’ari berguru kepada bapak tirinya yaitu Abu Ali
Jubba’i[3], Abul
Hasan al-Asy’ari seorang ulama senior muktazilah mendalami paham muktazilah
selama 40 tahun lamanya, sampai-sampai jika Abu Ali Jubai berhalangan untuk
mengisi kajian di masjid al-Mansur, maka Abul Hasan ‘Asyari yang
menggantikannya[4].
Kisah yang fenomenal tentang berlepas dirinya Abul Hasan al-‘Asyari
dari aliran Muktazilah sebagaimana diceritakan bahwa Abul Hasan pada hari Jumat
di masjid Jami di Basrah berdiri di atas mimbar kemudian mendeklarasikan
berlepas dirinya dari Muktazilah seraya berkata “barang siapa yang mengenali-ku
maka dia telah mengenali-ku, dan barang siapa yang belum mengenali-ku maka aku
akan memperkenalkan diri, aku fulan bin fulan, dahulu aku bependapat bahwa
al-Qur’an adalah makhluq, Allah tidak dapat dilihat dengan penglihatan dan
perbuatan manusia, manusialah yang menciptakannya, maka sesungguhnya saya telah
taubat dari pemahaman muktazilah karena kesesatan ajarannya[5]
Berjidal dengan Abu Ali Jubai membuat Abul Hasan menemukan
kebenaran yang kontra dengan pemahaman muktazilah, diantara kisah perdebatannya
tentang permasalahan ria’yatul ashlah[6]
tatkala Abul Hasan al-‘Asy’ari bertanya kepada Abu Ali al-Jubai tentang tiga
saudara, yaitu orang mukmin bertaqwa, orang kafir, dan anak balita, Ali Jubai
menjawab “orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan
celaka dan anak kecil akan selamat." Al-Asy'ari "mungkinkah anak
kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah?" Al-Jubba'i,
"Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, "Orang
mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya, sedangkan kamu belum
sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu." Al-Asy'ari,
"Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata,
"Tuhan, demikian itu bukan salahku. Andaikan Engkau memberiku umur
panjang, tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu." Al-Jubba'i,
"Oh, tidak bisa, Allah akan menjawab, "Oh, bukan begitu, justru Aku telah
mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka,
sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa
depanmu, aku matikan kamu sewaktu masih kecil, sebelum kamu menginjak usia
taklif." Al-Asy'ari, "Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat
kepada Allah dengan berkata, "Tuhan, Engkau telah mengetahui masa depan
anak kecil itu dan juga masa depanku. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan
masa depanku, dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu, sehingga aku
tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan
aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi orang kafir dan akhirnya aku
disiksa seperti sekarang ini?" Mendengar pertanyaan al-Asy'ari ini,
al-Jubba'i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban.
Al-Jubba'i hanya berkata: "Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang
telah ada."[7]
Pada hakikatnya Abul Hasan al-Asy’ari tidak menciptakan suatu
pendapat, madzhab yang baru melainkan pemikirannya serupa dengan apa yang
diajarkan salaf, dan sahabat Rasul Saw maka penisbatan kepada Abul Hasan Asy’ari
merupakan bentuk pembelaan secara jidal yang
beliau lakukan, maka orang yang mengikutinya dinamakan Asy’ariyan.[8] Asy’ariyah mulai mengalami
perkembangan ketika perdana menteri Tugril yang menganut pandangan Muktazilah
wafat (1063), dan digantikan oleh Alp Arselan (1063-1092) yang mengangkat Nizam
al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri. Perdana menteri baru itu adalah penganut
aliran Asy’ariah dan atas usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedang
aliran Muktazilah mulai mundur, hingga saat ini Asy’ariyah tersebar diberbagai
penjuru dunia.[9]
B.
Penamaan dan
sejarah lahirnya al-Maturidiyyah
Al-Maturidiyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada imam Abu
Manshur al-Maturidi[10],
Abu manshur al-Maturidi hidup sezaman abul Hasan Asy’ari keduanya memiliki
tujan yang sama, hidup berperang pemikiran melawan aliran muktazilah yang pada
saat itu berpusat di Bashrah[11], Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran
teologi Islam dalam aqidah, lahirnya aliran tersebut pada abad ke-4 H, yang mengklaim bagian dari ahlussunnah wal
jama’ah dengan tujuan membantah pemikiran aliran muktazilah dengan doktrin Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Maturidiyyah tersebar di negar-negara yang berkembang
perdebatan Fikh, Ushul Fiqh dan Aqidah yaitu negri Ma Wara
al-Nahr yang dikenal saat ini terletak di Turkistan, Uni Soviet,
Cina, Iran, India dan Afghanistan.[12]
Para fuqaha mengatakan bahwa ajaran aqidah yang disebarkan oleh
imam Mathuridiyah serupa dengan apa yang diajarkan oleh imam Abu Hanifah,
bahkan imam al-Maturidi menyebutkan bahwa dirinya memiliki riwayat kita-kitab
karya imam Abu Hanifah diantaranya ialah al-Fiqh al-abshat dan al-‘alim
wal muta’allim.[13]
Aliran ini terbagi dua golongan yaitu
Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Abu Mansyur al-Maturidi dan
Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh al-Bazdawi[14].
Kedua golongan Maturidiyah tersebut, tentang keberadaan dan pokok ajarannya
akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
C. Aliran-aliran Ay-ariyah
Sebatas penelusuran
penulis terhadap literatur tentang aliran Asy’ariyah tidak ditemukan
aliran-aliran dalam Asy’ariyah kendati demikian ada beberapa tokoh Asy’ari yang
berbeda pendapat dengan Abul Hasan Asy’ari di dalam beberapa permasalahan
diantaranya masalah penetapan nama-nama Allah, ada tiga pendapat dalam aliran Asy’ariyah,
pendapat pertama at-Tauuqif[15],
pendapat kedua tidak disyaratkan tauqif dari al-Qur’an dan as-Sunnah,
ini pendapat imam al-Baqillani dan pendapat ketiga yaitu pendapatnya al-Ghazali
dan Fakhruddin ar-Razi, mereka berpendapat boleh menetapkan sifat Allah
walaupun tidak ada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, adapun menetapkan nama-nama
Allah maka harus ada dalil dari al-Qur’an dan Sunnah[16].
Bahkan imam al-Juwaini
mengemumakan pendapatnya yang sangat kontras dengan Asy’ariyah, bahkan bisa
dikatakan lebih dekat dengan pendapatnya Muktazilah dari pada Asy’ariyah yaitu
dalam permasalahan al-kasb[17]
sebagaimana yang dikatakan oleh Harun Nasution.[18]
D. Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’arih
1. Dalil
rasional adanya Tuhan
Dalam masalah
ini Abul Hasan mengisyaratkan bahwa manusia itu sesuatu yang hadits dan
membutuhkan kepada al-qadim, berdalil dengan penciptaan manusia secara
berfase-fase, mustahil bila di sana tidak ada yang mengaturnya, sebagaimana
juga kapas yang berubah menjadi baju, maka pastilah ada seorang yang menenunnya.[19]
2.
Sifat-sifat Allah
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Yaitu dengan
kelompok mujassimah (antropomorfis) yang berpendapat, Allah mempunyai
semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut arti harfiyahnya, kelompok ke-dua yaitu kelompok Muktazilah
yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya.[20]
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak menyerupai sesuatupun,
karena jika Allah menyerupai sesuatu yang hâdits, maka akan berlaku
untuknya hukum-hukum hâdits, sedangkan Allah Maha Esa, jika tuhan lebih
dari satu maka alam ini tidak akan menjadi teratur. Allah berfirman :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا
اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya
: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai`Arsy
daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS: al-Anbiya: 22).[21]
3.
Kebebasan dalam berkehendak
Dalam teologi Islam ada dua pandangan mengenai permasalahan ini, dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah
(fatalisme) dan penganut faham pradterminisme Qadariyyah dan Muktazilah yang
menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan muktasib.
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri yang mengupayakannya (muktasib), dan tentu dengan kuasa Allah[22].
4. Keadilan
Tuhan
Masalah keadilan juga mendapat perhatian umat Islam, persoalan ini
mencuat kepermukaan karena kaum muktazilah, Abdul Jabbar berkata jika Tuhan
berlaku adil berarti perbuatannya bersifat baik. Ia tidak berbuat jahat, dan
tidak melupakan kewajibannya, berbeda dengan Asy’ari yang berpendapat keadilan
tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimilikinya
dan menggunakannya sesuai kehendaknya, tidak ada yang mewajibkannya dalam
melakukan sesuatu[23],
bahkan Allah boleh saja menghukum hambanya tanpa adanya dosa sebagaimana yang
dinyatakan oleh imam al-Ghazali.[24]
5.
Akal, wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, namun mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. al-Asy’ari mengatakan bahwa
perbuatan baik dan buruk tidak dapat diketahui melainkan dengan wahyu, berbeda
dengan muktazilah mereka mengatakan bahwa perbuatan baik maupun buruk dapat
diketahui oleh akal.[25]
6.
Qadimnya al-Qur’an
Muktazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga
tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan).
Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu al-Asy’ari
mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah.[26]
7.
Melihat Allah di hari Kiamat
Diantara polemik dikalangan aliran teologi Islam yang menjadi ranah
pedebatan yaitu permasalahan melihat Allah pada hari kiamat , Asy’ari
berpendapat serupa dengan Hanabilah dan Ahli Hadits bahwa Allah dapat dilihat
di akhirat, berbeda dengan Khawarij, Syiah, sebagian Murjiah. Asy’ari berdali
dengan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Qiyamah 22-23.[27]
8.
Keadilan
Faham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan manusia
dan juga erat kaitannya dengan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak
Allah, Asy’ari karena berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaam mutlak
tuhan, Dengan kata lain tuhan dapat
berbuat apa saja yang Dia kehendaki, menurut Asy’ari perbuatan Allah itu adalah
adil.[28]
9.
Kedudukan orang yang melakukan dosa
besar
Menurut al-Asy’ari adalah mukmin yang fasik bukan orang kafir,
nasibnya terletak ditangan Allah. Ada kemungkinan Allah akan mengapuni
dosa-dosanya dan ada kemungkinan Allah akan menyiksanya sesuai dengan
dosa-dosanya, lalu dimasukan ke dalam surga[29]
E.
Aliran-aliran al-Maturidiyyah
Berdasarkan
beberapa referensi yang pemakalah peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan
menjadi dua bagian yaitu:
- Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi
sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana
pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi lebih
dekat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan
perbuatannya.[30]
2.
Golongan
Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut Maturidi tulen dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Dia
belajar kepada ayahnya kemudian ayahnya belajar kepada kakeknya Abdul Karim,
kakek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan
golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran
Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi memiliki
sedikit perbedaan dengan al-Maturidiy, diantaranya imam mereka berpendapat
bahwa perbuatan memerlukan dua daya yaitu daya Tuhan dan daya manusia,
sedangkan daya manusia hanya kiyasan saja.[31]
F.
Doktrin
al-Matudiyah
Abu Zuhrah membenarkan pernyataan al-Kautsariy
yang mengatakan bahwa pemikiran
al-Maturidi berada pada posisi
antara Asy’aryiah dan Muktazilah sedangkan Asy’ariyah berada pada posisi antara
Muktazilah dan Ahli Hadits.[32] Diantara doktrin al-Maturidiyah adalah :
1.
Mengetahui esensi Allah
Mengetahui esensi Allah dapat diketahui dengan penalaran akal
dengan taddabur dengan penciptaan Allah.[33]
2.
Perbuatan Allah
Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan Allah dilandasi dengan hikmah,
tidak ada yang memaksa kehendaknya karena dia sepenuhnya bebas memilih, Maha
menghendakinya dan Maha Mengerjakan apapun yang dia kehendakinya, berdasarkan
itu maka tidak pantas jika Allah dikatakan wajib melakukan yang baik dan yang
terbaik, karena kewajiban itu menafyikan sebuah kehendak.[34]
3.
Sifat-sifat Allah
Berhubung dengan sifat
Allah, al-Maturidi
menetapkan sifat-sifat Allah,
tetapi mereka mengatakan sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang keluar dari
zat Allah dan tidak pula terpisah dari zatnya. Sifat-sifat tersebut tidak
mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat, sehingga tidak dapat dikatakan
bahwa banyaknya sifat-sifat Allah akan membawa kepada banyaknya yang qadim.[35]
4.
Ru’yah (melihat)
Allah
Berhubung dengan
melihat Allah, al-Maturidi
mengatakan Allah dapat dilihat pada Hari Qiyamat.[36]
5.
Af‘al
al-‘Ibad
Berhubung dengan perbuatan
manusia, Maturidiyah berpendapat bahwa Allah menciptakan segala sesuatu.
Tidak ada satu pun wujud melainkan Allah yang ciptakan. Tidak ada sekutu
baginya, namun demikian manusia memiliki pilihan dengan al-kasb.[37]
6.
Murtakib al-Kabirah
Berhubung dengan pelaku
dosa besar, al-Maturidi
tidak memasukkan ‘amal (perbuatan)
sebagai komponen dari pada Iman.
Oleh Karena itu, pelaku
dosa besar tidak keluar daripada lingkungan Iman. Pelaku dosa besar menurut al-Maturidi
tidak kekal dalam neraka, walaupun mati tanpa bertaubat.[38]
7.
Al-Qur’an Kalamullah
Al-Maturidi mengatakan Kalam
Allah terdiri daripada makna yang berdiri dengan dhat-Nya. Ia merupakan sifat
yang berhubung dengan dhat-Nya, qadim sama seperti dhat-Nya, tidak
tersusun daripada huruf dan perkataan kerana huruf dan perkataan itu hadits
dan setiap yang hadits itu makhluq.[39]
G. Persamaan dan perbedaan doktrin antara Asy’ariyah dengan Maturidiyyah
Menurut imam
Muhammad Abduh khilaf antara Asy’ariyah dengan Maturidiyah tidak lebih dari
sepuluh permasalahan, beliau juga menegaskan bahwa khilaf diantara mereka
merupakan khilaf lafdzi (redaksional).[40]
Diantaranya:
1. Tentang
Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang
relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui
dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa
dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.[41]
2.
Tentang PerbuatanManusia
Pandangan Asy`ariyah serupa dengan Maturidiyah bahwa perbuatan
diciptakan oleh Tuhan, serta direalisasikan dengan al-kasb, Dalam
masalahal-kasb, Maturidiyah berpendapat bahwa yang berpengaruh pada hakikat
perbuatan adalah kuasa Allah, adapun yang mempengaruhi sifat perbuatan adalah
daya manusia dan inilah yang dinamakan al-kasb. Adapun Asy’airah mereka
berpendapat bahwa al-kasb yaitu daya upaya manusia yang terjadi dengan
kuasa Allah.[42]
3.
Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya
sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka
berselisih paham dengan Muktazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.[43]
4.
Tentang perbuatan Tuhan
Pandangan Asy`ariyah bahwa perbuatan Allah tidak didasari oleh
suatu alasan, karena Allah mempunya kebebasan dalam bertindak, sedangkan
Maturidiyyah berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu yang sia-sia
melainkan perbuatannya di dasari dengan suatu kehikmatan, seolah-olah pendapat
mereka serupa dengan muktazilah, namun jika kita telisik lebih jauh maka kita
akan mengatakan bahwa pendapat Maturidi berada pada posisi pertengahan antara Muktazilah
dan Asy-ariyah.[44]
5.
Tentang Pelaku Dosa Besa
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan
bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak
gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada
pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.[45]
BAB III
PENUTUPAN
Setelah
mengurai pembahasan di atas, kita dapat simpulkan bahwa Asy’ariyah dan
Maturidiyah merupakan aliran yang lahir ketika tersebar luasnya aliran
Muktazilah, juga kedua aliran tersebutlah yang menjadi lawan beragumentasi para
mutakallimin dari kalangan Muktazilah. Asy’ariayah yang lahir di Bashrah
dengan pelopornya yaitu Abul Hasan Asy’ari menjadikan para mubtadi’
tuduk tak berkutik, kemudian lahir pula aliran dengan misi yang sama di
Samarkan, yaitu Maturidiyah pengikut Abu Manshur al-Maturidiyah.
Kedua
aliran tersebut mempunyai tujuan yang serupa namun berbeda tipis dalam
doktrin-doktrinya yang menjadikan tugas ulama setelahnya untuk membahas
perbedaan dan persamaan antara doktrin kedua aliran tersebut, sebagian ulama
ada yang mengatakan perbedaan tersebut hanyalah bersifat lafdzi
(redaksional) dan ada yang mengatakan juga perbedaannya lafzdi
(redaksional) dan maknawi (substansional) kendati demikian tidak menjadikan
kedua aliran tersebut mentabdi’, apalagi sampai mengkafirkan satu dengan yang
lainnya.
Asy’ariyah dan Maturidiyah
dengan konsep kasbnya telah menjadikan keduanya tampil berbeda antara
kaum fatalism dengan qadariyah dan muktazilah, begitu pula dengan konsep istbath
terhadap sifat-sifat Allah menjadikan keduanya tampil lebih moderat. Yang terpenting
dari itu aliran tersebut telah berkontribusi untuk khazanah pemikiran Islam dan
menjadikan kita berpikir lebih dinamis dan moderat dalam menanggapi aliran
aqidah Islam.
Penulis
menutup makalah ini dengan mengutip perkataan al-Qadhi Abdurrahim; “Saya
melihat jika hari ini seorang menuliskan buku, pastilah pada keesaokan harinya
dia akan berkata ‘jika ditambah ini, maka akan lebih baik, jika dikurangi ini
maka akan terlihat indah…”.
[1]
Hamad as-Sinan, Ahlussunnah al—Asyâ’irah, Dar Dhiya, cet. I, 2005, hal.
99
[2]
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-‘Asyari,
adalah seorang ulama produktif dengan banyak kontribusinya dibidang ilmu
kalam membela madzhab Ahlissunnah, nasab beliau sampai kepada sahabat nabi yaitu
Abu Musa al-‘Asyari, dilahirkan di bashrah tahun 260 H, beliau berguru setiap
hari Jumat kepada pakar fikh dari kalangan Syafi’iyyah yaitu Abu Ishaq al-Marwazi di masjid
al-Manshur, beliau meninggal pada tahun 330 H. (lihat: Târikh Baghdâd, wa
Dzhuyâlihi, al-Khatib al-Baghdadi, Dar Kutub ‘ilmiyyah, Bairut, 1417 H,
jilid 11, hal. 346)
[3] Abu
Ali Jubai bin Abdul Wahhab adalah salah satu tokoh Muktazilah, dan tokoh ilmu
kalam, lahir tahun 235-303 H-, murid dari Ya’qub al-Bashari (Lihat: Wafayâtul
‘Ayân, karya Ibnu Khalikan, Dar Shadir, Bairut, 1972, jilid 4, hal 267)
[4]
Ibnu ‘Asakir, Tabyînul
Kadzibil Muftarâ, Maktabah Azhariyah Litturats, Kairo, jilid 1, hal 91
[5]
Ibnu Khalikan, Wafayâtul ‘Ayân, Dar Shadir, Bairut, 1972, jilid 3, hal.
284
[6] Yang
dimaksud dengan Ri’ayatul Ashlah adalah apakah wajib bagi Allah untuk
melihat mashlahat hambanya.
[7]
Imam Dzahabi, Siyar ‘Alâm Nubalâ, Dar Hadits, Kairo, jilid 11, hal 13.
[8]
Ibnu as-Subki, Thabaqât as-syafi’iyyah,
Dar Kutub Ilmiyyah, Bairut, jilid
III, hal. 365
[9]
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia. Press, hal. 75
[10]
Nama lengkap Imam Maturidi adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Anshari al-Maturidi al-Hanafi,
as-Samarqandi. Beliau lahir
di Maturit atau sebuah
kawasan yang berdekatan
dengan Samarqand, salah
sebuah kota yang terkenal di Asia Tengah. Selain itu,
beliau juga dihubungkan
kepada al-Ansar (al-Ansari)
kerana dikatakan beliau berketurunan
daripada sahabat nabi,
Abu Ayyub Khalid
bin Zayd bin
Kulayb alAnsari.
[11]Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 167
[12]
Ahmad bin ‘Awab, Al-Maturidiyah, Dar ‘al-Shimah, Saudi, 1413 H, hal. 85
[13] Abu
Zahrah, Târikh Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 165
[14]
Bazdawi merupakan tokohaliran Maturidi yang memiliki banyak murid, diantaranya
yaitu Muhammad Nasafi, beliau wafat
pada 493 H di Bukhara. (lihat: Masû’ah al-Muyassarah fi al-Madzâhib.
hal. 97)
[15] Tauqif
di sini artinya tidak mensifati Allah kecuali dengan apa yang disifati oleh
al-Quran dan Sunnah
[16]
Muhammad al-Husaini, Ifahâfussadat
al-Muttaqîn, Maktabah Iskandariyah, cet. I,
jilid. 2, hal. 20
[17] Al-Kasb
versi Asy’ariyah adalah suatu daya upaya dalam mengerjakan perbuatan, jika
suatu perbuatan terjadi dengan kuasa yang qadim maka itu menunjukan
bahwa Allah sebagai penciptanya yang hakiki, dan jika suatu perbuatan terjadi
dengan kuasa yang hadits maka manusia tersebut dikatakan al-Muktasib
(lihat: Maqalatul Islamiyyin karya Abul Hasan, hal 304)
[18]
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press, 1986, Cet. V. h. 72
[20]
Prof. Dr. H Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pusat Setia, Bandung, 2012, hal.
148.
[21] Dr.
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal. 60.
[22] Dr.
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal. 58.
[23]
Kadir Shabur, Teologi progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal 76.
[24] Imam
al-Ghazali, Al-iqtishod fi al-I’tiqad, Dar Qutaibah, Damaskus, , 2003,
cet. I, hal. 102
[25] Abun
Nur Zuhair, Ushûl fiqh, al-Azhhariyah litturats, Kairo, hal. 126.
[26]
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia. Press, 1986, Cet. V. hlm 70.
[27] Dr.
Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilmil kalâm, Dar Nahdhah, jilid 2, hal 66.
[28] Kadir
Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal. 156.
[29] Kadir
Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal, 173.
[30] Abu
Manshur Maturidi, Syarh Fikh Akbar, Dar Ma’arif, Nidzomiyyah, 1321, hal. 11
[31] Abul
Yusr al-Bazdawi, Ushûluddin, Maktabah
Azhariyyah Litturats, Kairo, 2003, hal. 106
[32] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 169.
[33] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 169
[34] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo hal 170,
[35] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 174.
[36] Muhammad
Abu Manshur, At-tauhid lil Maturidi, Dar Jamiah al-Misriyyah,
Iskandariyah, 2010, hal 79,
[37] Kadir
Shabur, Teologi Progresif, Sultan Thaha Press, 2004, hal. 90.
[38] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 176.
[39] Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: Universitas Indonesia. Press,
1986, Cet. V. Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 77.
[40] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 167.
[41] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 173.
[42] Ahmad
‘Awadh, al-Mâturidiyyah Dirâsatan wa Tahqîqan, Darul ‘Ashimah, Saudi,
1413, hal. 501.
[43] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal 174.
[44] Abu
Zahrah, Târikhul Madzâhib, Dar Fikr Arabi, Kairo, hal. 170.
[45]
Abul Yusr al-Bazdawi, Ushûluddin,
Maktabah Azhariyyah Litturats, Kairo, 2003, hal. 135.
This post have 0 comments
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100