Juni 16, 2020

WANITA DALAM HISTORIOGRAFI DAN SEJARAH ISLAM

author photo 02.23

 WANITA DALAM HISTORIOGRAFI DAN SEJARAH ISLAM



A.     Wanita dalam Peradaban Kuno


1.      Wanita dalam peradaban Babilonion
Wanita dalam pandangan kaum Babilonion tidak mempunyai hak, laki-laki dalam keluarganyalah yang memilikinya, kemudian haknya akan berpindah dari bapak, saudara laki-laki kepada suaminya jika dia telah menikah. Suami mempunya hak muthlak atas istrinya, sampai kepemimpinan Hammurabi yang menetapkan beberpa peraturan baru diantaranya memberikan sangsi terhadap pelaku zina wanita dan laki-laki, memberikan mahar kepada wanita yang ingin dinikahinya, dan wanita mndapatkan warisan jika suaminya meninggal.  Bahkan banyak wanita masyhur dengan pujian masyarakat Babilonion terhadap wanita, diantaranya istri dari istri dari raja zamril (1760-1780. SM) yiatu chipito yang terkenal dengan tehnik kemiliterannya, yang menggambarkan sebagai wanita pemberani.[1]

2.      Wanita dalam Peradaban Asiria
Pandangan terhadap wanita pada peradaban Asiria kembali kepada peradaban sebelumnya yaitu peradaban Sumeria, wanita mereka terkenal dengan Gnostisisme dan dapat menyihir wajahnya menjadi cantik, maka wanita Asiria pada perdaban kuno (1521-2000 SM) meiliki haq dalam berkerja, dalam urusan penulisan, administrasi perdagangan, dan mereka juga memiliki segel khusus.[2]

3.      Wanita dalam Peradaban Mesir Kuno
Peradaban sebelum Mesir Kuno menganggap bahwa yang memiliki kekuasaan hanyalah laki-laki, wanita hanya memiliki peran tabiatnya sebagai seorang istri dan ibu, sedangkan pada peradaban Mesir kuno mereka membuat peraturan mengenai hak dan kewajiban seorang istri dan juga memberikan hak warisan untuk mereka, dibandingkan peradaban sebelumnya, Mesir Kuno banyak memberikan peradaban baru yang tidak dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelumnya terhadap wanita, yang mana mereka memberikan laqab (julukan) yang mulya unuk kaum wanita, diantaranya shahibul Quwwah (pemilik kekuasaan) shahibul Mahabbah (yang memiliki kecintaan), an-nabilah (cerdas) dan lain-lainnya, yang menunjukan bahwa wanita dalam peradaban mereka dihormati, bahkan banyak diantara wanita yang  menjadi ratu, diantaranya Merrit net, khentakaus, Natigrit, Hatsebtush dan lain-lainnya.[3]

4.      Wanita dalam Peradaban Afrika[4]
Pada peradaban Afrika tidak ada banyak perbedaan dengan peradaban bangsa lain, wanita dalam pandangan mereka sebagai budak, dan kepunyaan kaum Adam, jika suami meninggal, maka istrinya harus taat kepada keluarga suami, di samping itu wanita tidak memiliki kenggotaan dalam suatu keluarga, oleh karenanya tingkat percerain sangat mudah dilakukan.[5]   




5.      Wanita dalam Peradaban India
Meski dikenal dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaannya, peradaban India menempatkan kaum perempuan pada derajat kehinaan. Pada umumnya, masyarakat India mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber dosa, kerusakan akhlak dan pangkal kehancuran jiwa. Sehingga mereka tak memiliki hak-hak kebendaan dan warisan. Bahkan hak hidup mereka juga dicabut ketika suami mereka meninggal. Setiap perempuan harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya. Wanita bagi bangsa india,dalam aturan Manu,bahwa dalam hak apapun wanita hanyalah sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya.Wanita tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hartanya.
Keadaan kaum wanita di negeri India tidaklah lebih baik dibanding keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dalam pandangan mereka adalah sebagai budak, sedangkan kaum lelaki sebagai tuan. Karena, dalam pandangan  budak bagi suaminya, seorang janda menjadi budak terhadap anak-anaknya. Pada zaman india kuno wanita menurut keyakinan sati adalah bayang-bayang suaminya, maka apabila suaminya mati maka ia pun harus mati. Maka apabila proses pembakaran jenazah suaminya dilakukan ia pun ikut dibakar hidup-hidup, tradisi ini berakhir pada abad ke-17 M.[6]

6.      Wanita dalam Peradaban Persia
Orang-orang Persia berpendapat bahwa seseorang boleh saja menikahi ibunya sendiri,saudara perempuan kandung,tante,bibi, keponakannya yang mahram dan wanita-wanita mahram lainnya.Dalam pandangan bangsa Persia wanita adalah orang yang dizhalimi haknya dan mudah ditimpakan hukuman berat hanya karena kesalahan sepele. Apabila kasalahan tersebut masih dilakukan maka wanita itu boleh untuk dibunuh.Menurut mereka seseorang boleh menikahi kerabatnya seperti, ibunya,    saudara perempuannnya, tantenya, bibinya, keponakannya dan muhrim-muhrimnya yang lain.
 Dan pada saat sedang menjalani haid,seorang wanita akan diasingkan ditempat yang jauh dari kehidupan manusia. Tidak ada yang boleh menemani kecuali para pelayan yang hanya bertugas menyiapkan makanan. Tidak jauh berbeda dengan pandangan bangsa arab, bangsa persia juga menghina kaum wanita dengan berbagai cara.[7]

7.      Wanita dalam Peradaban Romawi
Masyarakat romawi terbiasa memandang isteri seperti balita, atau anak remaaja  yang  harus  selalu  diawasi.  Wanita  selalu  dibawah  perlindungan  dan pengawasan  suaminya. Selama  masa  itu  bila  seorang  wanita  menikah,  maka dia  dan  segala  miliknya   berada  dibawah  kekuasaan  suami.  Tidak  hanya  itu, suami  juga  mengambil  alih  hak-hak  isteri.  Apabila  seorang  isteri  melakukan sesuatu  kesalahan,  maka  adalah  hak  suami  untuk  menjatuhkan  hukuman baginya.  Seorang  suami  bahkan  berhak  memvonis  ati  terhadap  isterinya. Seorang  isteri  di  Roma  tidak  lebih  sekedar  barang  koleksi  (perabot)  milik suami.  Jadi  kedudukannya  sebanding  dengan  seorang  budak  yang  sematamata  tugasnya  menyenangkan  dan  menguntungkan  tuannya.
 Wanita  tidak diijinkan  untuk  mengambil  bagian  dalam  segala  persoalan,  baik  yang  bersifat pribadi maupun kemasyarakatan. Dengan kata lain, dia tidak berhak menerima surat kuasa, saksi, menjadi penjamin orang lain dan bahkan menjadi wali. Steri tidak lebih sebagai sekedar barang pajangan dalam rumah tangganya. Apabila suaminya  meninggal,  maka  semua  anak  laki-lakinya  (baik  kandung  maupun tiri),  terutama  saudara  laki-lakinya  berhak  atas  dirinya.[8]

8.      Wanita dalam Peradaban Cina
Wanita dalam pandangan Cina tidak jauh berbeda dengan saudaranya yaitu bangsa Persia, belum ada perundangan tentang wanita, hingga datang salah satu pemimpin mereka (2736-2852 SM)  yang bernama Fushi, kemudian membuat perundangan tentang wanita, kendati demikian tetap saja wanita saat itu tidak memiliki kekuasaan, diceritakan bahwa mereka menikahi anak kecil perempuan dengan memberikan uang pesanan pernikahan kepada bapaknya, kemudian jika dia sudah berumur 12 tahun, maka dibawalah anak itu dengan pelana kepada laki-laki yang memesannya untuk dikawinkan.      
Menurut mereka wanita tidak berhaq mewarisi dari keluarganya, wanita hanyalah memasak di rumah, memberikan makan anak,suaminya dan mengambil air di sungai.[9]   

9.      Wanita dalam Pradaban Yunani Kuno
Pada masyarakat Yunani yang banyak melahirkan para pemikir, terutama para  filosop,  hak  dan  kewajiban  perempuan  tidak  banyak  disinggung.  Di kalangan  elite  mereka,  wanita-wanita  ditempatkan  (disekap)  dalam  istana-istana. Sedangkan di kalangan bawah, mereka menjadi komoditi yang diperjual belikan.  Mereka  yang  berumah  tangga  sepenuhnya  berada  di  bawah kekuasaan suaminya. Mereka tak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak warispun tidak ada.

Di  masaa  Yunani  Kuno  ini  wanita  dipaksa  memikul  dengan  tanpa persetujuannya,  karena  memang  persetujuan  tersebut  dianggap  sebagai sesuatu  yang  tidak  perlu.  Orang  tua  mengharuskan  putrinya  tunduk sepenuhnya  pada  kehendak  mereka,  meskipun  harus  menikah  dengan  orang yang tidak  disukai.  Wanita-wanita  Yunani  harus  tetap  selalu  mentaati  segala sesuatu yang dating dari laki-laki, apakah dia itu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya  bahkan  paman-pamannya.  Selama  kejayaan  peradaban  Yunani, wanita  suci  dipandang  sebagai  sesuatu  yang  amat  berharga. 
Wanita-wanita Yunani  mengenakan  sejenis  cadar,  mereka  ditempatkan  di  asarama  khusus wanita. Wanita  di  Yunani  terklasifikasi  menjadi  3  (tiga)   macam  yaitu:  1-para pelacur  yang  semata  bertugas  pemuas  nafsu  laki-laki;  2-selir-selir  yang tugasnya merawat tubuh dan kesehatan tuannya, memijat; 3-para isteri yang bertugas merawat dan mendidik anak-anak sama seperti apa yang dilakukan oleh para pengasuh anak atau baby sister dewasa ini.Kedudukan  wanita  tidak  lebih  hanya  berputar  di  sekitar  itu.  Pada akhirnya  rumah-rumah   pelacuran  (bordil)  menjadi  pusat  perhatian  semua kelas dalam masyarakat Yunani. Dan segala keputusan yang daang dari pusat (bersifat nasional) berada di bawah pengaruh wanita. Tempat tinggal menjadi tempat  pemujaan,  karena  wanita  memang  dipersembahkan  oleh  Aphrodite (dewi cinta dan kecantikan, yang mengkhianati suaminya dan bercinta dengan tiga dewa yang lain.[10]

10.  Perempuan dalam masyarakat Arab Pra Islam
Muhammad Abduh berkata ketika mendeskripsikan keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw. “bangsa Arab dahulu saling berperang antar kabilah, terlebih masalah kepuasan syahwat, mereka bangga jika membunuh kepala suku, merampas harta, membuat berhala dari manisan mereka sembah, namun tatkala mereka lapar, mereka pun memakannya, dan diantara kebiadaban mereka terhadap wanita adalah membunuh anak perempuan mereka karena bagi mereka anak perempuan adalah aib.[11]

B.     Wanita dalam sejarah Islam
Berbeda dengan agama Kristen tentanng wanita, dengan pemahaman kelirunya terhadap kitab Injil awal, yaitu bahwa karena pelanggaran Hawalah, Adam diusir dari surge, menurut mereka Hawa dianggap sebagai penggoda Adam, bertanggung jawab atas kejatuhan Adam. Maka tidak heran mereka menempatkan wanita secara inferior dalam permasalahan  agama maupun dunia, akibatnya mereka tidak mempunyai hak waris.

Barulah Islam datang untuk pertama kalinya diberikan haq legal yang semistinya atas harta benda. J.M Robert sejarawan terkenal mengatakan “kedatangannya dalam banyak hal revolusioner. Islam mempertahkan perempuan, misalnya pada posisi inferior tetapi mereka hak-hak legal atas harta benda yang tidak diberikan kepada wanita eropa hingga abad ke-19.[12] Berikut beberapa bukti sejarah wanita-wanita dalam Islam, sebagai penguat bahwa Islam adalah agama yang “ rahmatan lil’alamin”:

1.      Shahabiyah  Nabi Muhammad Saw
Banyaknya sahabat wanita dan berbagai segi biografi mereka yang berbeda mendorong para penyusun biografi untuk memasukan sebagian di antara mereka ke dalam karya-karyanya yang khusus berisi para perowi hadits, diantaranya dalam kamus biografi azd-Dzahabi untuk tujuh abad pertama Islam  terdapat 54%  perowi wanita dari kalangan sahabiyah. Ini menunjukan bahwa Islam agama yang memberikan wanita peran besar untuk menyebarkan ilmu.[13]

Diantaranya yaitu Khadijah yang memiliki kecantikan, kekayaan melimpah, status sosial terhormat dan pengusaha yang sukses. Khadijah adalah istri yang ideal yang senantiasa menyertai Muhammad dalam kondisi apapun sampai, beliau juga orang yang pertama kali membenarkan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, sampai akhirnya khadijah pada umurnya ke-65 tahun beliau diwafatkan. [14]

Kemudian Aisyah. Sebagai istri Rasulullah SAW, peran Aisyah tidak terbatas pada hal domestik kerumahtanggaan. Sejarah mencatat bahwa para istri Nabi selalu mendampingi Nabi ketika berperang. Aisyah menjalankan peran ini dengan penuh keikhlasan dan suka cita, Perhatian Aisyah terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan secara umum juga sangat besar. Salah satu buktinya adalah Aisyah mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dikemukakan para sahabat. Dan Hisyam bin Urwah pernah berkata: “Pada zamannya tidak ada orang yang menandingi Aisyah dalam tiga bidang ilmu yaitu: ilmu fiqh, ilmu pengobatan dan ilmu syair”.[15] 

2.      Perempuan pada dinasti Ummayyah
Diantara wanita yang popular pada dinasti Bani Umayah terdapat Tokoh sufi perempuan yang terkenal yaitu Rabiah Al-Adawiyah. Nama lengkapnya yaitu Ummu al-Khair bin Isma’il Al-Adawiyah Al-Qisysyiyah. perempuan keempat dari empat bersaudara. Rabiah dilahirkan dari pasangan suami istri yang hidup miskin bahkan Rabi’ah pun dilahirkan tanpa adanya lampu penerangan. Rabi’ah lahir di kota Basrah, Iraq pada tahun 94 H. Beliau wafat di kota Basrah, Iraq tahun 185 H. Rabia’ah al- Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah.

3.      Perempuan pada dinasti Abbasiyah
Diantara perempuan yang terkenal pada dinasti ini adalah Haizuran yang dengan kecantikannya dan kecerdasannya dapat melepaskan diri dari perbudakan dan menjadi istri al-Mahdi, putra al-Mansur dan menjadi ibu dari dua khalifah berturut-turut al-Hadi dan khalidah Harun al-Rasyid yang termashur itu. Ketajaman mata al-Mansyur lah yang melihat sifat baik Khuziaran budak perempuan dan memasukannya ke dalam rumah tangga anaknya al-Mahdi, yang menjadi khlaifah penggantinya. Khaizuran adalah orang yang sangat ambisus dalam politik. [16]Tatkala al-Mansyur, yang akan memebelinya, pertama kali menanyakan asal-usulnya, khaizuran menjawab bahwa ia tak punya keluarga lagi. Namun kemudian, ketika kedudukannya telah mantap, ia membawa beberepa kerabatnya ke istana dan mendapat kedudukan yang baik.[17] Khuzairan bukan saja cerdik namun juga cerdas.




[1] Hal 15,al-Marah Abrattarikh, Afran Sulaiman,
[2] Hal 16, al-Marah Abrattarikh, Afran Sulaiman,
[3] Hal 2-5Abdul Halim, Al-mar’ah fi Mishr Qadimah, maktabah Iskandaria, 2003
[4] Maksudnya adalah suku-suku yang tinggal di bagian selatanm dan barat Afrika
[5]
[6] Hal 255, Islam dan Hak asasi manusia pandangan Nurkhalis Majid, Mohamad Monib, Cet I, Jakarta PT. Gremedia Pustaka Utama 2011,
[7] Magdelena, KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERJALANAN SEJARAHAl-Ulum, Vol. 2, tahun 2013,
[8] Said  Abdullah  Said  al-Hatimy,  Citra  Sebuah  Identitas  Wanita  dalam  Perjalan
Sejarah, (Risalah Gusti, Surabaya, 1994) 10
[9] Hal 23, al-Mar’ah ‘Abrat Tahrikh
[10] Hal 44 vol
[11] Hukukul Mar’ah Baina al-Islam wa al-Gharb, hal.5 , Muhammad Hasan, Sudan University,
[12] Hal 53, Antara Islam dan Barat, Wahiddun Khan.
[13] Ruth Roded, Hal 47, Kembang Peradaban Citra Wanita di mata penulis Biografi Muslim.Mizancet. I, 1995
[14] hal 104, Women in Islam, (Markus Wiener Publishing 1992)
[15] Hal 48 Kembang peradaban
[16] Charis Waddy, Wanita dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987) h. 74
[17] N. Abbott , Two Queens of Baghdad: Mother and Wie of Harun al-Rasyid (chicago: University of Chicago press  1946) h.226

This post have 0 comments


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post