September 06, 2023

APAKAH DRY CLEAN MENYUCIKAN PAKAIAN YANG TERKENA NAJIS?

author photo 18.42


Dry clean atau yang biasa dikenal dengan cuci kering adalah proses mencuci pakaian tanpa menggunakan air, melainkan menggunakan cairan kimia bernama perchloroethylene. Kita selalu diajarkan untuk mencuci pakaian yang terkena najis dengan menggunakan air untuk menyucikannya. Lantas, apakah pakaian yang terkena najis menjadi suci jika dibersihkan dengan metode ini? 

Para fukaha sepakat bahwa syariat menjadikan air sebagai media untuk bersuci dan menyucikan. Karena bukankah seorang yang hendak melaksanakan salat namun ia berhadats diperintahkan untuk mensucikan dirinya terlebih dahulu? Jika hadatsnya ringan ia cukup berwudhu, namun, jika hadatsnya berat maka ia perlu mandi. Wudhu dan mandi keduanya menggunakan air, itu artinya air adalah media untuk bersuci. Keterangan ini kita dapati secara gamblang di surat Al-Maidah: 6, yang berbunyi,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Selain jiwa dan raga, seorang mukmin juga perlu memperhatikan kesucian pakaiannya. Perintah mensucikan pakaian Allah sebutkan secara spesifik di surat Al-Muddatsir: 6,

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ

Artinya: dan pakaianmu maka sucikanlah,

Jika menyucikan diri dilakukan dengan berwudhu dan mandi, bagaimana teknis menyucikan pakaian? Jawabannya kita temukan di hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Asma, Rasulullah bersabda, “pada darah haid yang mengenai pakaian, kau mengoreknya, menggosoknya dengan air, membasuhnya, dan salatlah dengannya,’” (HR Bukhari: 227 dan Muslim: 291). 

Hadits ini menjadi dalil sucinya pakaian saat najis yang ada padanya dihilangkan dengan media air. Maka air dapat menyucikan pakaian yang terkena najis adalah poin kesepakatan di antara para ulama. Bagaimana jika menghilangkannya dengan selain air? Ini bagian yang diperselisihkan. Kasus dry clean yang tengah kita bahas dapat kita analisa melalui diskursus ini. 

Pendapat Pertama: 

Menurut Jumhur Ulama, air menjadi satu-satunya media yang dapat di gunakan untuk menyucikan sesuatu, baik menghilangkan hadats ataupun najis. Kata Imam Nawawi, ini adalah pendapat yang disepakati oleh para fukaha syafi’iyyah. Pendapat ini juga dinukil dari beberapa ulama lainnya seperti, Imam Malik, Muhammad bin Hasan, Zufar, Ibn Rahawaih, dan riwayat dari imam Ahmad.

Argumentasi:

Karena kesucian kaitannya dengan keabsahan salat yang bersifat tauqifi, saat Rasulullah menetapkan air sebagai media untuk menyucikan sesuatu, maka hal itu juga bersifat tauqifi. Teuqifi artinya berhenti pada batas-batas yang telah ditetapkan syari’at. Dalam hal ini, Nabi hanya menautkan penyucian dengan air, oleh karenanya tidak ada yang dapat menggantikannya, sehingga hal lain tidak dapat menempati posisi itu.

Selain itu, Allah melekatkan sifat thahur yang berarti suci dan menyucikan hanya pada air (Al-Furqan: 48), Ia juga katakan bahwa Ia menurunkan air sebagai karunia untuk menyucikan kita (Al-Anfal: 11), maka ini menunjukkan bahwa sifat thahur khusus untuk air saja. Dengan demikian, selain air tidak dapat disetarakan dengannya karena 2 sebab:

  1. Membatalkan makna air sebagai karunia dari Allah. Karena jika ternyata selain air punya faedah yanga serupa, lantas apa arti air sebagai karunia dari-Nya? Terkait ini ada kaidah yang berbunyi:

وَالْفَرْعُ إذَا عَادَ إلْحَاقُهُ بِالْأَصْلِ بِالْإِسْقَاطِ سَقَطَ فِي نَفْسِهِ

jika ilhaq (penautan) perkara cabang kepada perkara asal berdampak menggugurkan yang asal, maka yang cabang menjadi gugur dengan sendirinya. 

  1. Karena selain air tidak dapat menyucikan, dengan bukti bahwa selain air tidak menghilangkan hadast dan junub, dengan demikian tidak dapat pula digunakan untuk mengilangkan najis.

Pendapat Kedua: 

Air bukan satu-satunya media untuk menyucikan pakaian dari najis. Ia boleh dihilangkan dengan media lainnya; ini pendapat yang pegang oleh Imam Abu Hanifah, Sebagian Ulama Maliki, dan riwayat dari Imam Ahmad. Di riwayat lain dari Imam Ahmad dengan tambahan: jika diperlukan, ini pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.

Argumentasi:

Fakta bahwa syariat menjadikan air sebagai media untuk menyucikan pakaian tidak lantas menafikan peluang media lain memiliki fungsi yang sama jika memang sama-sama menghilangkan kotoran najis, seperti zat cair lainnya.

Oleh karenanya, menjadikan hadits Asma sebagai landasan selain air tidak dapat menyucikan adalah argumentasi yang lemah. Karena hadits hanya berisi perintah mencuci darah pada pakaian dengan air. Perkara apakah pakaian menjadi suci jika najis dihilangkan dengan selain air, tidak ada informasi di sana.

Karena poinnya adalah menghilangkan najis, bukan penggunaan air secara khusus, buktinya, memotong atau membakar bagian pakaian yang padanya terdapat najis menjadikan menjadikan pakaian itu kembali suci. Maka air dapat mensucikan karena kemampuannya menghilangkan najis, sehingga hal ini berlaku juga di selain air selama memiliki kemampuan yang serupa.

Bahkan jika ditelaah lebih lanjut, melalui hadits tentang seorang Arab badui yang kencing lalu Rasul memerintahkan untuk menyiramnya dengan air  (HR. Bukhari: 220), tidak berlebihan jika kita katakan bahwa air digunakan di dalam kasus-kasus tertentu saja, tidak dimaknai sebagai perintah yang bersifat umum sehingga setiap najis harus disucikan dengan air. Karena faktanya, Rasulullah mengizinkan umatnya menghilangkan najis dengan selain air di berbagai kasus, di antaranya: 

  1. Kasus istijmar, di mana najis dihilangkan dengan batu (HR. Abu Daud: 40)

  2. Kasus sandal atau alas kaki, tanah yang dipijak mensucikannya (HR. Ibn Khuzaimah: 292)

  3. Kasus gamis perempuan, disucikan oleh tanah (HR. Ahmad: 26488)

  4. Bahkan dihikayatkan anjing selalu berkeliaran di sekitar masjid Rasulullah, tapi tidak diriwayatkan satu kisahpun Rasul mengambil tindakan untuk peristiwa tersebut (HR. Ahmad: 5389)

  5. Kasus kucing yang Rasul sebut minttawwafin wattawwaafat, padahal tidak jarang kucing memakan tikus, dan tikus itu najis. (HR. Abu Daud: 75)

  6. Lalu arak yang berubah dengan sendirinya menjadi cuka hukumnya juga berubah menjadi suci  berdasarkan ijmak.

Kesimpulan: 

Seluruh ulama sepakat bahwa air dapat menyucikan pakaian yang terkena najis. Maka barang atau pakaian yang terkena najis diutamakan untuk dicuci menggunakan air. Namun, dalam beberapa situasi, jika air dapat merusak barang atau komoditi tertentu, maka tidak mengapa bertaklid kepada para Imam yang memiliki pandangan bolehnya menyucikan sesuatu dengan selain air, karena menjaga harta bagian dari maqasid syariah juga. Maka dalam konteks ini, dry clean bisa dijadikan sebagai opsi pilihan saat berada di situasi tersebut.  Wallahu’alam



Naufal Tontowi el-Ghiyats, Lc, Dipl.

This post have 0 comments


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Next article Next Post
Previous article Previous Post